Cikarang Pusat – Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Bekasi telah menetapkan AK yang merupakan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bekasi 2016 – 2019 sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemanfaatan barangpp milik daerah (BMD) Tanah dan Bangunan pada sertifikat hak pakai Nomor 5 Tahun 1998 atas nama Pemerintah Kabupaten Bekasi di Desa Babelan Kota oleh Koperasi Saung Bekasi, Jumat (27/1/2023).

Kasi Intel Kejari Kabupaten Bekasi Siwi Utomo mengatakan, penetapan tersangka tersebut dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh oleh tim penyidik, bahwa Dinas Pertanian Kabupaten Bekasi memiliki
BMD berupa tanah dan bangunan atas nama Pemerintah Kabupaten Bekasi dengan luasan 20.278 m2 dan tercatat dalam KIB A Dinas Pertanian dengan nomor kode barang 01.01.11.04.001 dan nomor register 0007, dengan nilai buku sebesar Rp. 4.055.600.000.

“Bahwa pada BMD tersebut secara factual sebagian dimanfaatkan oleh pihak lain yaitu tersangka NH selaku Ketua Koperasi Saung Bekasi seluas 5.000 meter atas dasar Ijin Pemanfaatan Lahan yang diterbitkan oleh tersangka AK selaku Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan tahun 2016 dengan Nomor : 525/10.48/DISTANBUNHUT tanggal 15 Agustus 2016 perihal Ijin pemanfaatan lahan,” kata dia.

Masih kata Siwi pada saat permohonan tempat dagang hasil pertanian lahan oleh Koperasi Saung Bekasi pada tanggal 09 Agustus 2016, saat diterbitkannya surat oleh tersangka AK perihal ijin pemanfaatan lahan tidak memiliki legalitas antara lain: akta pendirian, Bekasi tidak memiliki ijin usaha, NPWP, rekening Bank atas nama koperasi, laporan keuangan dan laporan pertanggungjawaban pengurus dan pengawas koperasi setiap tahunnya.

“Bahwa setelah dikeluarkannya surat/ijin tersebut sampai dengan saat ini tidak ada dokumen berupa surat perjanjian antara Dinas Pertanian dengan Koperasi Saung Bekasi. Dimana hal tidak sesuai dengan Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang pedoman pengelolaan barang milik daerah penggunaan barang milik daerah,” jelas Siwi.

Dalam pemanfaatan tanah dan bangunan tersebut, tersangka AK memungut biaya parkir bagi kendaraan yang keluar baik penjual maupun pembeli, dimana terdapat biaya parkir yang dipungut dari para petani maupun para pembeli atas perintah tersangka NH dan untuk pedagang kopi yang menggunakan bangunan semi permanen dipungut biaya listrik sebesar Rp15 ribu perhari untuk biaya listrik, keamanan dan kebersihan.

“Perbuatan tersangka AK tidak sesuai dengan kewenanganannya sebagai sebagai pengguna barang yang seharusnya harus disertai dengan persetujuan Sekretaris Daerah sebagai pengelola barang, bahwa mekanisme pemanfaatan BMD yaitu lahan milik Dinas Pertanian tidak ditempuh mekanisme yang seharusnya oleh tersangka AK selaku Kepala Dinas Pertanian dan tersangka NH selaku pimpinan koperasi Saung Bekasi sebelum diterbitkannya surat dari Kepala Dinas Pertanian kepada Koperasi Saung perihal Ijin pemanfaatan lahan,” tegas dia.

Dari pungutan-pungutan tersebut tersangka NH memperoleh keuntungan yang digunakan untuk pengelolaan lahan parkir pasar ikan higenis dan juga untuk kepentingan pribadi, akan tetapi tidak pernah ada penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pemanfaatan BMD yang berasal dari tersangka NH selaku ketua Koperasi Saung Bekasi, sehingga perbuatan yang dilakukan oleh NH dan AK mengakibatkan kerugian Keuangan Negara yang berasal dari PAD berupa pendapatan sewa atas pemanfaatan Barang Milik Daerah sejak tahun 2016 sampai dengan tahun 2022 yang tidak dipungut dan disetorkan ke Rekening Umum Kas Daerah Pemerintah Kabupaten Bekasi, yaitu sebesar Rp973.026.000.

“Sampai dengan saat ini kami (Kejari Kabupaten Bekasi) masih dilakukan penyidikan terhadap perkara tindak pidana korupsi dimaksud dengan mendalami keterlibatan pihak-pihak lainnya, dan tidak menutup kemungkinan adanya pihak lain yang dimintai pertanggungjawaban pidana sesuai dengan kualitas peran dan kesalahan atas perbuatan tersebut. Untuk saat ini telah dilakukan penahanan tingkat penyidikan terhadap tersangka AK selama 20 hari terhitung sejak hari ini,” kata dia.

Perbuatan tesangka dinilai sebagai tindak pidana sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP

Subsidiair, Pasal 3 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. (LR)

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *